|
Alat Tenun Tradisional yang masih digunakan Masyarakat Baduy Luar |
Selama perjalanan
menuju Baduy yang saya lihat dan saya alami, saat ini keadaan Baduy sangat memprihatinkan, banyak sampah yang dihasilkan orang yang tidak bertanggung jawab, kebutuhan ekonomi (yang seharusnya tidak dibutuhkan) yang cepat. Mungkin hal tersebut dikarenakan banyaknya orang
yang datang ke Baduy, banyaknya masyarakat baduy dalam dan baduy luar yang
menjadi guide maupun porter untuk menyusuri baduy dan terlihat mereka lebih
menggantungkan hidup dari sektor pariwisata.
Ada hal positif dan
negatif dari tereksposnya Baduy sebagai tempat pariwisata, positifnya kehidupan
ekonomi mereka menjadi lebih baik, tetapi menurut saya lebih banyak hal
negatifnya yaitu banyaknya sampah yang ditimbulkan dari wisatawan, kegiatan mata
rantai uang yang sangat kuat dan cepat, terkontaminasinya pola pikir mereka
yang secara tak sadar banyak mempengaruhi mereka karena banyaknya wisatawan
yang mengunjungi Baduy,
|
Kegiatan Suku Baduy Luar |
Dari
segi cara hidup, mereka telah mengalami banyak perubahan, terutama dalam cara
berpakaian. Masyarakat baduy luar identik dengan pakaian hitam, dengan
menggunakan ikat kepala yang berwarna biru. Namun sekarang banyak para generasi
muda baduy yang menggunakan pakaian selayaknya orang-orang luar lainnya. Banyak
dari mereka yang menggunakan kaos, celana pendek, dengan pernak-pernik yang di
buat oleh masyarakat baduy sendiri. Ada beberapa dari mereka yang menggunakan
alat komunikasi ponsel walaupun mereka tidak mengenal huruf, tetapi lama-kelamaan
mereka belajar untuk dapat berkomunikasi lewat media ponsel. Beberapa dari
masyarakat Baduy dapat berkomunikasi dengan bahasa Indonesia. Banyaknya
wisatawan yang datang ke sini apalagi pada akhir pekan membuat Baduy tidak
dapat membendung perubahan sosial.
|
Tugu Ciboleger, Desa terakhir menuju kampung Baduy |
Memang
saat itu saya merasa tidak seperti di sebuah kampung di pedalaman, saya terlalu
berlebihan berimajinasi dalam perjalanan tersebut yang berfikir bagaimana
kehidupan dari sebuah suku adat yang tidak menggunakan listrik, tertutup dari
hal-hal luar, masih memegang teguh adat istiadatnya bahkan tadinya saya
berfikir di Baduy masih menggunakan sistem barter dll.
Kegiatan Menenun
|
Mengambil Hasil Hutan |
Ternyata
setelah pulang dari Baduy dan melihat semuanya, saya telah menemukan jawaban
dari imajinasi saya yang berlebihan dan berbanding terbalik dengan fakta yang
saya dapat. Ya wajar, bagaimana mungkin sebuah kampung adat dapat
mempertahankan keasliannya jika setiap akhir pekannya selalu di banjiri dengan
wisatawan. Rasanya tak adil menyalahkan masyarakat Baduy atas perubahan yang
telah terjadi, Adat istiadat pun telah berusaha untuk mempertahankan keaslian
mereka dengan adanya polisi adat yang berpatroli, sayangnya hal tersebut tetap
tidak efektif untuk melawan derasnya perubahan tersebut. Tetapi, yang saya
masih dapat adalah kearifan lokal masyarakat Baduy nya, mereka tetap berusaha
mempertahankan dan menjalankan apa yang telah di tetapkan dalam hukum adat
mereka. Semua itu balik lagi kepada masyarakat Baduy bagaimana mereka
menghadapi dan menyikapi semua permasalahan perubahan ini, kita tidak dapat
memaksakan apa yang menjadi keinginan kita terhadap mereka dan kita pun sebagai
wisatawan hendaknya bertanggung jawab terhadap apa yang akan kita kunjungi
dengan mematuhi segala peraturan yang telah dibuat dan jadilah wisatawan yang
kembali pada niat awal kita, pada saat kita mengunjungi suatu tempat yaitu
ingin tahu, belajar dan membiarkan mereka terhadap kehidupan keaslian mereka.
Author: Yuwi Jamal
Link for Baduy
Cara Menuju Baduy
Sedih Untuk Baduy
"Memang saat itu saya merasa tidak seperti di sebuah kampung di pedalaman"
ReplyDeleteKata-kata di atas kayaknya bagus buat menggambarkan lead tulisannya. Mungkin aku mau kasih saran sedikit. Tulisan yang kamu buat kan sebenarnya menggambarkan suatu ironi keadaan desa dan masyarakat Baduy. Nah, kalau mau menyentuh, tema yang ironi ya ditulis dengan bahasa ironi juga. Seperti pada kalimat di atas itu merupakan lead pembuka tulisan. Yuwie menjelaskan dulu keadaan sekitar, yang baru kemudian diironikan dengan kalimat tersebut.
Paragraf kedua baru menggambarkan kalau di sana itu adalah masyarakat Baduy. Baru dilanjutkan dengan argumen fakta-fakta yang ada. Namun harus diingat, kalau tulisannya bernada ironi, di ujung tulisan disisipi harapan yang tampak dari segi positif di sana. Harapan itu bukan sekadar deskripsi fakta, tetapi ada logika kamu bermain di situ,
Tulisan seperti ini dinamakan tulisan jurnalisme sastra, dimana suatu peristiwa dikisahkan dengan teknik menyentuh pembaca. Lebih bagus lagi kalau dimasukkan dalog dengan masyarakat sekitar untuk memperkuat ironi tulisan kamu. Nah, dari hasil wawancara tsb kamu bisa mengembangkannya dengan pemikiran kamu.
Nih, aku kasih contoh jurnalisme sastra National Geographic Indonesia http://nationalgeographic.co.id/feature/2013/07/megaselokan-megapolitan
Tetap semangat menulisnya!!! :)
makasih banget ya kaka buat masukkannya, okeh aku baca-baca link yang dr kaka biar bisa berkembang tulisan-tulisan akunya :D
ReplyDelete